MAKASSAR – Aliansi Pemuda Sulawesi Selatan (Sulsel) mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel mengusut tuntas proyek pembangunan trotoar atau jalur pedestrian Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar.
Proyek ini diduga mangkrak. Anggarannya mencapai ratusan miliar. Itu sesuai dengan nilai kontrak yang dimenangkan PT Nindya Karya.
Pada tanggal 19 September 2020, proyek ini mulai dikerja. Namun hingga Desember 2020 belum juga selesai.
Dengan begitu, Jenderal Lapangan Aliansi Pemuda Sulsel, Abdul Faisal meminta kepada Kejati Sulsel untuk turun melakukan pengusutan terhadap proyek pembangunan pedestrian sepanjang 1,8 kilometer (km) tersebut.
“Proyek pedestrian tersebut sudah disahkan oleh DPRD dan telah masuk dalam APBD Pokok Pemerintah Kota Makassar Tahun 2020 lalu. Pada APBD Pokok 2020, anggaran pedestrian sepanjang kurang lebih 1,8 kilometer itu sebesar Rp130 miliar,” kata Faisal dalam keterangan persnya, jum’at (09/12/2022).
Meski anggarannya sudah ditetapkan senilai Rp130 miliar, hanya saja, lanjut Faisal, PT Nindya Karya hanya mengelola anggaran sebesar kurang lebih Rp90,58 miliar untuk membangun pedestrian itu.
“Karena ada refocusing, sehingga tinggal menjadi Rp127 miliar pada parsial kedua. Pemenang tender proyek sudah ditentukan sebelumnya yakni PT Nindya Karya. Kemudian sebagai cadangan adalah PT Adhy Karya dan cadangan kedua adalah PT Bumi Karsa. Akhirnya PT Nindya Karya (Persero) memenangkan tender tersebut dengan total Rp90.586.000.243,72,” terangnya.
Selain itu, bagi Faisal, lahan atau pedestrian Jalan Metro Tanjung Bunga belum tercatat sebagai aset Pemkot Makassar.
Faktanya, Rudy Djamaluddin saat itu yang masih menjabat selaku PJ Wali Kota Makassar tetap ngotot untuk melanjutkan pembangunan.
“Pembangunan jalur pedestrian tanjung bunga ini, di era Pj Wali Kota Makassar Rudy Djamaluddin dan Plt Kepala Dinas PU Makassar. Secara konsep, hal itu tak mendesak lantaran situasi pandemi covid-19 dan terkesan dipaksakan dengan durasi waktu yang singkat. Rudy Djamaluddin tetap ngotot melanjutkan pembangunan mega proyek tersebut. Alhasil, proyek tersebut pun mangkrak dan berujung terindikasi melakukan korupsi secara berjamaah,” ucapnya.
Sementara itu, anggota Aliansi Pemuda Sulsel lainnya, AM Fadli meminta kepada Kejati Sulsel untuk menetapkan Ferry Tandriady sebagai tersangka.
Ferry Tandriady diduga sebagai pihak pemberi suap terhadap beberapa proyek infrastruktur di lingkup Pemprov Sulsel.
“Kuat dugaan kami bahwa salah satu kontraktor yang bernama Ferry Tanriady selaku Direktur PT Karya Pare Sejahtera telah melanggar undang-undang tindak pidana suap. Sebagaimana kesaksian Jumras dalam sidang perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menyeret Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dan eks Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sulsel, Edy Rahmat,” ungkap Fadli.
Dalam sidang itu, kata Fadli, dijelaskan bahwa anak buah kontraktor Ferry Tandriady, Yusman Yusuf mengaku pernah menyerahkan uang Rp 2,2 miliar kepada ajudan Nurdin Abdullah, Syamsul Bachry.
Dugaan suap itu dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan proyek di tahun 2020-2021.
“(Dalam sidang) jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Yusman soal pertemuannya dengan Syamsul Bahri. Yusman mengaku pertemuan itu terjadi pada februari 2021 lalu,” papar Fadli.
Olehnya itu, Fadli mendesak Kejati Sulsel untuk mengusut dugaan suap perizinan dan pembangunan infrastuktur di lingkup Pemprov Sulsel tersebut.
“Kami menduga Ferry Tandriady tidak pernah mendapatkan panggilan atau pun pemeriksaan secara detail untuk ditindak lanjuti, sehingga kami menduga bahwa Direktur Karya Pare Sejahtera kebal terhadap hukum. Maka dari itu kami meminta kepada Kejati Sulsel untuk profesional dalam menangani kasus tersebut dan kami juga meminta kepada Kejati Sulsel untuk segera menetapkan Ferry Tandriady sebagai tersangka,” tegasnya.
Fadli pun meminta agar Kepala Kejati Sulsel dicopot dari jabatannya. Sebab, dianggap tidak mampu menyelesaikan dugaan kasus suap di Sulsel, dan proyek mangkrak. (***)