Makassar, metrotimur.com – Sikap KPU Makassar menolak putusan panwaslu untuk menerbitkan SK baru paslon, semakin membuktikan bahwa pilkada Makassar melahirkan pilkada tanpa Paslon.
Sebagai ahli, Prof.Ilmar, dalam pandangannya saat dikonfirmasi oleh awak media, menegaskan, bahwa putusan Panwaslu itu, sifatnya terakhir dan mengikat.
“Seharusnya KPU menindak lanjuti putusan Panwas, karena sifatnya terakhir dan mengikat, dan wajib hukumnya KPU eksekusi putusan Panwas, tidak bisa tidak, ” kata Pakar Hukum Tata Negara Unhas, Prof.Ilmar, usai diambil keterangannya sebagai saksi ahli di Bawaslu sulsel, atas laporan tim hukum DIAmi terkait sikap penolakan KPU Makassar menindak lanjuti putusan Panwas, senin (21/5/18).
Sebagaimana dalam pasal 180 ayat (2) menjelaskan, “Setiap pejabat yang menghalangi atau menghilangkan hak seseorang secara konstitusional, itu bisa dihukum, minimal 36 bulan kurungan dan maximal 96 bulan kurungan, kemudian ditambah lagi denda , terang Prof. Ilmar.
Saat dikonfirmasi terkait status paslon DIAmi dengan sikap KPU yang membangkan putusan Panwas, Prof.Ilmar sedikit membeberkan atas keterangannya sehubungan hadirnya di Bawaslu untuk diambil kesaksiaanya sebagai ahli.
“Tadi saya ditanya sama penyidik, saya katakan dengan sikap KPU itu, hak konstitusional DIAmi gugur, kemudian saya ditanya lagi soal SK yang mana yang akan digunakan oleh KPU, saya katakan bahwa tidak ada lagi SK yang bisa digunakan, karena sudah digugurkan oleh KPU itu sendiri, dimana KPU telah melakukan pleno sebagai tindak lanjut dari putusan panwas dengan Berita Acara pleno, namun patut disayangkan KPU justru tidak menerbitkan SK baru, maka secara otomatis KPU batalkan juga paslon lainnya, ” kata Prof. Ilmar.
Lanjut Prof. Ilmar menjelaskan, nah, tentu dengan lahirnya Berita Acara (BA)Pleno tersebut, itu membuktikan, bahwa KPU telah menindak lanjuti putusan panwas, namun kekeliruan KPU justru tidak menerbitkan SK baru.
“Nah, disinilah pembangkangan KPU terhadap putusan Panwas yang sangat keliru, karena KPU tidak sadar, bahwa pleno yang dilakukan oleh KPU itu, secara otomatis ikut membatalkan SK 64 secara menyeluruh, kata Prof. Ilmar.
Prof. Ilmar kemudian memberikan pandangan, bahwa jika KPU bertahan dengan SK 64 itu seharusnya KPU tidak usah ikut sidang sejak awal di Panwas. Tetapi faktanya KPU ikuti jadwal sidang sampai selesai, kemudian KPU menindak lanjuti putusan dengan memplenokan, berarti secara administrasi, KPU harus mengeluarkan SK baru, bukan bertahan lagi di SK 64, karena sesungguhnya pleno yang dilakukan oleh KPU itu adalah pleno pembatalan SK 64 untuk menerbitkan SK yang baru.
“Jadi pada dasarnya, sikap KPU telah menghilangkan hak konstitusional seluruh paslon yang ada didalam SK 64 itu, jadi kalau mau bertahan dengan SK 64 dasar hukumnya apa, ” jelas Prof. Ilmar.
Terkait KPU pertentangkan putusan Panwas dengan MA, menurut Prof. Ilmar, itu juga keliru, KPU tidak boleh pertentangkan putusan Panwas dengan MA, karena SK 64 itu cacat substansi, kenapa cacat substansi..?, karena yang digunakan di SK 64 itu adalah pasal 89 tentang tidak memenuhi syarat. Nah, konsep tidak memenuhi syarat itu, hanya berlaku sebelum penetapan sebagai pasangan calon tetap.
“Cacatnya SK 64 itu karena eksekusinya menggunakan pasal 89 (tidak memenuhi syarat), sementara kedua paslon sebelumnya ditetapkan oleh KPU dengan terpenuhinya seluruh syarat. Seharusnya KPU, jika ada laporan pelanggaran dan menemukan bukti dan menjadi objek sengketa setelah penetapan paslon tetap, maka KPU tidak boleh menggunakan pasal 89, tetapi Pasal 90 yakni sanksi pembatalan, itupun jika bisa dibuktikan, ” terang Prof. Ilmar.
Untuk bertahan dengan SK 64 sebagai landasan hukum untuk menyelenggarakan Pilkada Makassar pada 27 Juni 2018, Prof. Ilmar menegaskan, bahwa KPU tidak boleh mengeksekusi lagi lewat SK 64.
“Oh..tidak bisa lagi KPU lakukan itu, jalan satu – satunya, KPU RI harus ambil alih pilkada Makassar, yang pastinya Pilkada Makassar tidak menghasilkan calon, akibat kekeliruan KPU itu sendiri, ” kunci Prof Ilmar. (Sqd05).